Sejumlah pemberitaan dan opini masyarakat di media masa baik cetak maupun elektronik terhadap masalah guru sebagai pendidik utama di sekolah, kerap diwarnai oleh hal-hal negatif. Dari beberapa kasus yang muncul, hal yang kini selalu menjadi materi perbincangan semua kalangan masyarakat adalah yang berkaitan dengan semakin memburuknya akhlak dan moralitas guru di Indonesia (Pikiran Rakyat, 3 Mei 2008). Walaupun asumsi ini tidak seluruhnya benar, mengingat masih banyak juga guru yang memiliki integritas tinggi, namun hal ini sulit untuk dibantah. Terjadinya pemalsuan atau manipulasi data portofolio pada uji sertifikasi, meningkatnya tindakan amoral, adanya penyalahgunaan wewenang, maraknya bentuk-bentuk pelanggaran pada setiap pelaksanaan sistem ujian, dipandang sebagai bukti pertanda buruknya akhlak dan moralitas guru.
Betapapun buruk dan rendahnya citra guru pada kenyataan sekarang ini, namun dengan penuh kearifan semoga kita tidak saling menuding siapa yang paling bersalah, tidak saling mencela dan juga tidak saling mengklaim siapa memiliki moralitas lebih baik dibanding dengan yang lain. Dalam situasi serba dilematis seperti ini yang diharapkan adalah bagaimana berikhtiar mencari dan menemukan suatu cara, atau sedikitnya memberi sumbangan pemikiran, yang dapat mendorong proses berpikir para guru untuk melakukan introspeksi, kemudian menyadari setiap sisi kesalahannya, dan pada akhirnya dapat menunjukkan kembali sikap profesionalismenya dalam keseharian.
Memang kondisi guru yang belum juga membaik sampai saat ini, ditambah dengan meningkatnya berbagai persoalan hidup yang kian mendera, terasa semakin menghimpit ruang bernafasnya. Ibarat pepatah “tak putus dirundung malang” atau “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Namun pernahkah terpikir oleh kita bahwa dibalik setiap peristiwa yang sedang terjadi, terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik hikmahnya. Menurut M. Rusli Amin (2002), sesungguhnya hidup adalah sebuah proses belajar secara terus-menerus. Dengan demikian diharapkan akan melahirkan kearifan-kearifan, untuk mencapai kematangan diri. Pelajaran-pelajaran itu bersumber dari ayat-ayat Allah Swt yang telah tertulis di dalam al-Quran, ucapan-ucapan Nabi Muhammad Saw. yang tertuang di dalam al-Hadits, juga dari ayat-ayat Allah yang tidak tertulis, yaitu berupa alam semesta yang terbentang luas, dari sejarah kehidupan umat terdahulu, dari pemikiran-pemikiran para ahli, dari pengalaman-pengalaman hidup orang lain, bahkan dari diri kita sendiri.
Uraian tersebut mengisyaratkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya secara cermat dan penuh kesungguhan, setiap peristiwa bisa kita jadikan sebagai bahan renungan dan media proses berpikir dalam upaya memperbaiki diri, dengan cara mengoptimalkan hal-hal yang sudah baik dan menghindari segala sesuatu yang bersifat buruk, semata-mata hanya berharap mendapat keridhaan Allah, bukan untuk yang lain.
Secara jujur kita katakan, sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kita yang memiliki niat (motivasi) untuk melakukan perbuatan (perilaku) tidak terpuji, apalagi sampai melanggar hukum segala. Namun kenyataannya mengapa hal ini bisa terjadi?. Di tengah agenda perbaikan mutu pendidikan dan upaya peningkatan mutu guru, muncul anomali profesionalisme yang sangat tidak kita harapkan.
Terkait dengan adanya perilaku tidak terpuji pada kasus buruknya moralitas guru, dalam psikologi kepribadian Islam, kondisi ini dinamakan gangguan kepribadian (personality disorder). Indikasi adanya gangguan tersebut ditunjukkan oleh perilaku yang ditampilkan (Yadi Purwanto, 2007). Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang dimaksud yaitu : (1) potensi untuk melangsungkan hidup (potensi kehidupan), meliputi: kebutuhan jasmani dan naluri-naluri. Macam-macam naluri (insting) manusia adalah: naluri beragama, naluri mempertahankan diri dan naluri seksual. Dengan naluri manusia memiliki energi yang menekankan individu untuk berperilaku tertentu. Tujuan naluri yaitu untuk memperoleh kepuasan, walaupun kepuasan tersebut bersifat relatif bagi setiap individu. (2) Potensi untuk memaknai hidup atau potensi akal (berfikir). Akal merupakan potensi terpenting pada manusia, yang ada pada otak, dan menjadikannya sebagai makhluk yang paling istimewa. Akal merupakan fitrah yang mampu menghantarkan manusia pada perbuatan positif yang bisa menyelamatkan kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam Firman Allah QS. 3 Ali Imran, Akal memiliki fungsi untuk berpikir dan berdzikir.
Selanjutnya faktor penyebab seseorang mengalami gangguan kepribadian adalah ketidak berdayaan individu untuk meraih nilai-nilai kebahagiaan melalui upaya pemenuhan kebutuhan fisik dan naluri-nalurinya. Individu mengalami dioptimalisasi fungsi akal dan jiwanya sehingga dia tidak dapat mengendalikan dirinya. Kepribadian terganggu ditandai oleh adanya perasaan kurang puas akan apa yang diraihnya dan terjadi dominasi atas salah satu kebutuhan fisik, naluri-nalurinya atau dominasi keduanya atas akal-kalbunya (Yadi Purwanto, 2007).
Beberapa pengamat dan pakar pendidikan menyampaikan sebuah pandangan yang sama tentang kecenderungan munculnya perilaku guru yang tidak terpuji disebabkan oleh dua hal yaitu: pertama, adanya ketidak puasan terhadap kebutuhan-kebutuhan naluri, khususnya naluri mempertahankan diri, misalnya: mempertahankan nama baik, keinginan mendapat materi, keinginan mendapat penghargaan, dan lain lain. kedua, semakin meningkatnya kebutuhan-kebutuhan naluri tersebut di atas dan lebih mendominasi pada pola kehidupannya. Sedangkan kebutuhan paling mendasar, yang bersifat ruhaniyah (nilai-nilai rohani) tidak terlaksana dengan baik, misalnya: keimanan yang teguh, ikhlas dalam bekerja, selalu sadar semua perbuatan diawasi oleh Allah, takut akan adzab Allah, syukur atas semua pemberian Allah, dan sebagainya. Hal inilah yang mendorong seseorang melakukan perilaku tidak terpuji (tercela), sehingga terbentuklah kepribadian terganggu. Selanjutnya perilaku tidak terpuji tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa banyak guru yang masih belum memiliki kompetensi personal (kepribadian) secara matang, sehingga dengan mudah guru terpengaruh oleh hal-hal negatif yang ada di sekelilingnya. Kepribadian guru yang matang ditandai oleh adanya kepribadian mantap, sebagaimana tercantum dalam PP nomor 19/2005 yang menyebutkan tentang kompetensi kepribadian seorang guru yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, dan mengembangkan diri secara berkelanjutan.
Meski sebenarnya masih banyak faktor lain diluar pribadi guru dalam kasus buruknya moralitas guru sekarang ini, namun apapun permasalahannya masalah dunia pendidikan hakikatnya adalah masalah guru juga. Guru sebagai pendidik profesional memang dituntut supaya menguasai berbagai jenis kompetensi (kemampuan) secara optimal demi untuk menjalankan amanah tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai agen moral serta figur sentral implementasi akhlak dalam lingkungan sekolah, guru juga merupakan sosok teladan yang baik, menjadi contoh etik dan benteng kejujuran. Sebab sebagai pendidik, guru tidak hanya berfungsi untuk mengajar tetapi juga bertugas untuk menanamkan nilai-nilai akhlak dan moral terpuji pada peserta didik.
Mengingat betapa besar dan berartinya peran guru terhadap keberhasilan tujuan pendidikan, maka sekali lagi perlu ditekankan bahwa hal penting yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kepribadian matang, karena hal ini dapat melandasi peningkatan kualitas kompetensi-kompetensi lainnya (Muhaimin, 2004). Kini persoalannya adalah bagaimana kesungguhan kita sendiri untuk mau berubah dalam ikhtiar (upaya) membangun kembali potensi-potensi yang sebenarnya sudah kita miliki, menjadi suatu bangunan yang kokoh dan kuat, yang mampu membentengi keseluruhan yang ada pada diri kita, sehingga terbentuk kepribadian yang matang. Dengan demikian kita tidak mungkin lagi mudah terpengaruh dan terjebak pada posisi yang menyesatkan, merendahkan dan merugikan kita sendiri.
Menurut para pakar psikologi kepribadian, kepribadian matang ini disebut sebagai kepribadian sehat. Dengan demikian seseorang yang berkepribadian matang adalah orang yang memiliki kepribadian sehat. Sehubungan dengan hal tersebut, Hanna Djumhana (2003), memberi gambaran tentang seseorang yang memiliki kepribadian sehat, yaitu orang yang memiliki keyakinan (keimanan) mantap, berakhlak terpuji, bersikap tegas, luwes dalam bergaul, selalu menebarkan kebajikan, selalu menjadi panutan dan selalu diharapkan untuk menjadi pemimpin, selalu produktif dan memberi kemanfaatan yang besar bagi dirinya sendiri juga untuk lingkungannya. Sedangkan menurut Erich Fromm, yang dikutip oleh Hanna Djumhana (2003), Kepribadian sehat adalah kepribadian yang memiliki karakter produktif, yang ditandai oleh perealisasian, peningkatan, dan pemanfaatan daya potensi pribadi yang terpadu pada eksistensi manusia. Potensi-potensi tersebut dimanfaatkan dalam melakukan hubungan antar pribadi dengan orang lain (sosialisasi) dan juga untuk mendapatkan dan mengelola benda-benda (asimilasi).
Hal paling penting untuk membentuk kepribadian sehat, dari sudut pandang agama Islam, merujuk kepada kesempurnaan kepribadian yang sudah ada, yaitu pribadi rasulullah Saw. Sosok pribadi yang luhur dan mulia, yang wajib untuk diteladani. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah QS. 33 al-Ahzab:21, yang artinya: “Sesungguhnya pada Rasulullah itu ada suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan (keridhaan) Allah, hari akhirat dan ia banyak mengingat Allah”.
Sehubungan dengan hal itu, bagi seorang muslim, termasuk juga guru, akhlak (moral) merupakan faktor penting dalam upaya pembentukan kepribadian sehat, karena akhlak merupakan bentuk realisasi nilai-nilai luhur agama Islam. akhlak merupakan suatu kondisi batiniah (jiwa) yang suci, dan dari kondisi jiwa itu tumbuh suatu aktifitas yang bersifat refleks tanpa membutuhkan pemikiran terlebih dahulu. Standar idealnya adalah akhlak yang terdapat pada pribadi Rasulullah Muhammad Saw., yang wajib diteladani oleh seluruh umat Islam dimanapun berada.
Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa secara ideal seseorang yang berkepribadian sehat memiliki karakteristik sebagai berikut: Pertama, sehat jasmani dan terbebas dari gangguan-gangguan kejiwaan. Kedua, memiliki pola pikir dan pola jiwa berasas pada aqidah Islam yang bersumber pada al-Quran dan al-Hadits, Ketiga, memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan yang baik. Keempat, selalu berupaya meneladani akhlak Rasulullah Saw. secara optimal Kelima, selalu berupaya untuk merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupan yang dijalaninya sesuai dengan aturan-aturan agama. Keenam, selalu berupaya untuk merealisasikan dan mengembangkan daya potensi-potensi pribadinya (misalnya: kecerdasan, bakat, sifat, ketrampilan) pada hal-hal positif, sekaligus berupaya menghambat dan mengurangi potensi-potensi negatif. Ketujuh, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa kehilangan identitas dirinya, aktif dalam berkarya dan dapat memberikan manfaat untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan di luar dirinya.
Agama Islam sangat jelas menyampaikan bahwa manusia benar-benar diberi kebebasan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam berikhtiar menentukan sikap terhadap jalan hidup yang ditempuhnya, terlepas apakah ingin meraih derajat setinggi-tingginya atau ingin menjerumuskan diri pada derajat serendah-rendahnya. Meskipun demikian kebebasan ini tidak mutlak dimiliki, karena manusia senantiasa dituntut untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya dan memikul akibat dari perbuatannya tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam QS. 74 al-Mudatstsir : 38, yang artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Berdasarkan penjelasan di atas, dari sudut pandang manapun juga, kepribadian sehat merupakan kepribadian ideal yang harus dimiliki oleh semua orang, termasuk guru. Oleh karena itu, dalam konteks keguruan upaya pembentukan kepribadian sehat, bisa diawali dari diri kita sendiri. Berawal dari meningkatkan pemahaman terhadap masalah keguruan, bahwa setiap aspek yang berhubungan dengan guru secara pribadi (aspek personal) maupun secara profesi (aspek profesional) harus selalu bersandar pada nilai-nilai dan aqidah (keyakinan) agama. Dengan begitu, kita merasa dituntut untuk meningkatkan kesadaran kita terhadap suatu komitmen pribadinya dengan Tuhan, yang telah menciptakannya menjadi manusia bermartabat tinggi, dan komitmen terhadap keputusannya untuk memilih profesi mulia tersebut. Dari pemahaman yang optimal, kemudian meningkat menjadi kesadaran terhadap realita yang ada di sekelilingnya, sehingga mendorong kita untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam bentuk perilaku (akhlak) terpuji pada keseharian kita.
Atas dasar itulah guru sudah seharusnya memiliki kepribadian sehat, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap pribadi, kinerja profesionalnya dan terhadap keseluruhan aspek-aspek kehidupannya. Sebagai bahan pembanding dengan apa yang sudah kita lakukan, terdapat beberapa karakteristik seorang guru berkepribadian sehat merujuk pada kompetensi-kompetensi profesional dalam pendidikan, yaitu: Pertama, karakteristik berdasarkan kompetensi personal dapat ditunjukkan dengan perilaku: (1) Merealisasikan tujuan, pola pikir ke dalam tingkah laku yang diwarnai nilai-nilai agama, (2) Bersikap ikhlas, mengajar semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, (3) Bersih dari sifat-sifat tercela: sombong, mau menang sendiri, iri hati dan dengki, permusuhan, perselisihan, (4) Mengamalkan ilmu dengan baik dan ikhlas, (5) Bersikap sabar, luwes, arif dan bijaksana, (6) Bersikap amanah dan jujur, (7) Bersikap adil dan objektif, (8) Pemaaf dan baik hati, (9) Menjaga harga diri dan kehormatan, (10) Mencintai dan menunjukkan sikap kasih sayang terhadap anak didik, namun tetap tegas pada saat dibutuhkan, (11) Mampu menjadi teladan bagi semua orang, (12) Bersikap tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Kedua, berdasarkan kompetensi profesional dapat ditunjukkan pada perilaku: (1) Menyajikan pelajaran sesuai dengan kemampuan anak didik, (2) Menguasai bidang yang diajarkan dengan baik, (3) Senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan, mengkaji dan mengembangkannya, (4) Menjaga dan memelihara kondisi lingkungan belajar tetap kondusif (5) menggunakan metode belajar yang variatif, (6) Memahami minat, bakat, kebiasaan anak didik, (7) Memahami kondisi psikis (kejiwaan) anak didik dengan baik, (8) Peka dan tanggap terhadap kondisi dan perkembangan baru, (9) Mampu mengatasi persoalan pelajaran secara tuntas (10) Memelihara amanah orangtua untuk membimbing dan mendidik anak mereka dengan baik.
Memang tidak mudah untuk berada kembali pada posisi yang kita harapkan, tentu saja selalu ada hambatan, godaan dan tantangan yang senantiasa menghadang. Namun apakah kita akan membiarkan diri kita tetap berada pada derajat yang rendah, yang sering menjadi pesakitan, dan tidak banyak yang membela. Jika kita tidak mau merubah posisi buruk kita saat ini, siapakah yang akan bertanggung jawab membimbing anak-anak kita menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan. Siapa yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Segala ikhtiar (upaya) harus kita tempuh, pasti butuh waktu dan pengorbanan. Namun kita harus tetap optimis, untuk segera kembali menjadi guru yang bermartabat, guru yang memiliki kepribadian baik, kuat dan terpuji, guru yang dicintai dan dibanggakan anak-anak didiknya, guru yang memberi makna tentang arti kejujuran, kedisiplinan dan kesalehan hati. Guru yang selalu dikenang oleh anak-anak didiknya sepanjang waktu, walaupun kita telah menjadi seonggok tanah yang berbatu nisan. Guru yang membawa banyak bekal amal saleh ketika harus menjumpai pemiliknya, Allah Swt. Sekaranglah saat yang tepat untuk bangkit. Inilah sesungguhnya arti reformasi pendidikan bagi kita para guru di Indonesia. Semoga.
Penulis: Dra. Hj. Iis Sofiah Robiah Adawiyah, M.Pd.